MK Tolak Uji Materi Perppu Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin
![]() | ||||
Pemohon Uji Materi Perppu No.51 Tahun 1960 sesaat seusai sidang putusan. (Foto:Humas MK) |
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasa (Perppu Nomor 51/1960). Pembacaan Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XV/2016 berlangsung pada Selasa (28/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Wakil Ketua MK Anwar Usman pimpinan Pleno yang didampingi oleh para hakim konstitusi lainnya pada Selasa (28/11) siang.
Terhadap permohonan Rojiyanto (Pemohon I), Mansur Daud P. (Pemohon II) dan Rando Tanadi (Pemohon III), Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan tentang penguasaan tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dalam Perppu Nomor 51/1960 sudah memberikan kepastian hukum bagi warga negara. Dalam hal kepemilikan tanah, warga negara tetap harus memperhatikan instrumen hukum yang sudah ada. “Jangan sampai menyerobot tanah tanpa seizin yang berhak ataupun kuasanya sebagaimana dimaksud undang-undang a quo,” ucap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pendapat Mahkamah.
Maria menjelaskan apabila terdapat penyerobotan tanah, maka pengambilalihan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah tetap menempuh cara-cara yang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya, Pemerintah tidak secara langsung membongkar paksa rumah atau tanah yang dihuninya. Di samping memberikan kesempatan atau tenggang waktu kepada penghuni untuk mengosongkan tanah atau rumah yang dihuninya terlebih dahulu, Pemerintah juga tidak serta-merta menutup kemungkinan memberikan kompensasi atau relokasi dengan memperhatikan situasi dan kondisi konkret di lapangan. Terutama mereka yang telah tinggal lama secara turun-temurun dan memperoleh hak tersebut termasuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan negara seperti membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Sementara apabila cara persuasif yang intens telah ditempuh tidak berhasil dan terjadi perlawanan warga, maka menurut Mahkamah, tindakan pemerintah untuk melibatkan TNI meskipun dibenarkan, namun harus menjadi pilihan terakhir. Pelibatan tersebut semata-mata dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan. Terlepas dari konteks historis lahirnya undang-undang a quo, pertimbangan pelibatan TNI sebagai upaya terakhir didasarkan pada perubahan paradigma pelibatan TNI dalam penyelenggaraan negara.
“Dalam pemahaman demikian, pelanggaran terhadap larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, bukanlah masalah pertahanan negara, melainkan persoalan keamanan dalam negeri. Dengan demikian, ketentuan Pasal 6 Perppu tersebut merupakan bentuk perlindungan secara spesifik dan konkret untuk melakukan pencegahan atas adanya pelanggaran pidana terhadap hak atas tanah yang berupa pembiaran, penyerobotan hak atas tanah. Hal ini dapat menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakteraturan tatanan hukum pertanahan dalam masyarakat. Dengan demikian, Pasal 6 tersebut tidak bertentangan dengan Konstitusi,” papar Maria.
Berdasarkan pertimbangan di atas, lanjut Maria, Mahkamah berpendapat bahwa penggusuran kawasan hunian yang menimpa kawasan pemukiman para Pemohon berdasarkan Perppu Nomor 51/1960 tidak serta-merta membuat pasal-pasal dalam Perppu tersebut jadi bertentangan dengan UUD 1945. Karena pemerintah daerah dalam mengambil alih tanah yang dikuasai orang tanpa izin yang berhak atau kuasanya, merupakan tindakan negara untuk tidak melakukan pembiaran adanya penyerobotan hak atas tanah yang mengakibatkan ketidaktertiban dalam masyarakat. “Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Maria.(NN/MK)
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Wakil Ketua MK Anwar Usman pimpinan Pleno yang didampingi oleh para hakim konstitusi lainnya pada Selasa (28/11) siang.
Terhadap permohonan Rojiyanto (Pemohon I), Mansur Daud P. (Pemohon II) dan Rando Tanadi (Pemohon III), Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan tentang penguasaan tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dalam Perppu Nomor 51/1960 sudah memberikan kepastian hukum bagi warga negara. Dalam hal kepemilikan tanah, warga negara tetap harus memperhatikan instrumen hukum yang sudah ada. “Jangan sampai menyerobot tanah tanpa seizin yang berhak ataupun kuasanya sebagaimana dimaksud undang-undang a quo,” ucap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pendapat Mahkamah.
Maria menjelaskan apabila terdapat penyerobotan tanah, maka pengambilalihan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah tetap menempuh cara-cara yang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya, Pemerintah tidak secara langsung membongkar paksa rumah atau tanah yang dihuninya. Di samping memberikan kesempatan atau tenggang waktu kepada penghuni untuk mengosongkan tanah atau rumah yang dihuninya terlebih dahulu, Pemerintah juga tidak serta-merta menutup kemungkinan memberikan kompensasi atau relokasi dengan memperhatikan situasi dan kondisi konkret di lapangan. Terutama mereka yang telah tinggal lama secara turun-temurun dan memperoleh hak tersebut termasuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan negara seperti membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Sementara apabila cara persuasif yang intens telah ditempuh tidak berhasil dan terjadi perlawanan warga, maka menurut Mahkamah, tindakan pemerintah untuk melibatkan TNI meskipun dibenarkan, namun harus menjadi pilihan terakhir. Pelibatan tersebut semata-mata dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan. Terlepas dari konteks historis lahirnya undang-undang a quo, pertimbangan pelibatan TNI sebagai upaya terakhir didasarkan pada perubahan paradigma pelibatan TNI dalam penyelenggaraan negara.
“Dalam pemahaman demikian, pelanggaran terhadap larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, bukanlah masalah pertahanan negara, melainkan persoalan keamanan dalam negeri. Dengan demikian, ketentuan Pasal 6 Perppu tersebut merupakan bentuk perlindungan secara spesifik dan konkret untuk melakukan pencegahan atas adanya pelanggaran pidana terhadap hak atas tanah yang berupa pembiaran, penyerobotan hak atas tanah. Hal ini dapat menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakteraturan tatanan hukum pertanahan dalam masyarakat. Dengan demikian, Pasal 6 tersebut tidak bertentangan dengan Konstitusi,” papar Maria.
Berdasarkan pertimbangan di atas, lanjut Maria, Mahkamah berpendapat bahwa penggusuran kawasan hunian yang menimpa kawasan pemukiman para Pemohon berdasarkan Perppu Nomor 51/1960 tidak serta-merta membuat pasal-pasal dalam Perppu tersebut jadi bertentangan dengan UUD 1945. Karena pemerintah daerah dalam mengambil alih tanah yang dikuasai orang tanpa izin yang berhak atau kuasanya, merupakan tindakan negara untuk tidak melakukan pembiaran adanya penyerobotan hak atas tanah yang mengakibatkan ketidaktertiban dalam masyarakat. “Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Maria.(NN/MK)
Tidak ada komentar