Perlindungan Hukum terhadap ASN
oleh : Nurmadjito, SH, MH
(Lembaga Bantuan Hukum dan Konsultasi Hukum, KORPRI Nasional)
Jakarta - Perlindungan hukum terhadap Aparatur Sipil Negara adalah salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-undang No 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara. Sebagai tindak lanjutnya kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 308 Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Namun demikian Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tersebut belum mengatur secara jelas hal-hal yang dimaksud dengan perlindungan hukum tersebut. Karena kekurangan tegasnya pengaturan perlindungan hukum tersebut dalam Peraturan Pemerintah dimaksud, sehingga saat ini masih dirasakan oleh Pegawai Negeri Sipil yang terkena masalah hukum, ketiadaan perlindungan hukum.
Di sisi lain UU No 5 Tahun 2015 juga memberikan fungsi kepada Korps Pegawai Aparatur Sipil Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 126 ayat (3) huruf b untuk memberikan perlindungan.
Namun demikian Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tersebut belum mengatur secara jelas hal-hal yang dimaksud dengan perlindungan hukum tersebut. Karena kekurangan tegasnya pengaturan perlindungan hukum tersebut dalam Peraturan Pemerintah dimaksud, sehingga saat ini masih dirasakan oleh Pegawai Negeri Sipil yang terkena masalah hukum, ketiadaan perlindungan hukum.
Di sisi lain UU No 5 Tahun 2015 juga memberikan fungsi kepada Korps Pegawai Aparatur Sipil Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 126 ayat (3) huruf b untuk memberikan perlindungan.
Pegawai Negeri Sipil dewasa ini merasakan bahwa kewajiban pemerintah memberikan perlindungan belum terwujud dan pula perlindungan yang menjadi fungsi dari Korps Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) belum dapat dilaksanakan karena Peraturan Pemerintah tentang Korps Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) belum diterbitkan.
Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) merasakan ketiadaan ketenangan dalam melaksanakan tugas kewajibannya apalagi bagi mereka yang diberikan tugas adhoc mengelola proyek-proyek pemerintah. Menurut catatan sebagaimana dikutip harian Kompas 7 April 2017, terdapat 3.417 pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
![]() |
Nurmadjito, SH, MH |
Oleh pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang terhukum dengan memperhitungkan situasi dan kondisi lingkungan yang dihadapi PPK dalam melaksanakan tugas instansinya.
Dalam artian demikian Pasal 92 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil membuka peluang optional yang berbunyi,
“ (2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana”.
Dalam artian demikian Undang-undang memberikan kewenangan kepada pemerintah dalam hal ini Pejabat Pembina kepegawaian (PPK) suatu pilihan untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan terhadap PNS sebagaimana dimaksud Pasal 92 ayat (2).
Namun demikian pilihan tersebut dibatasi sebagaimana Pasal 247 dan Pasal 248, UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yaitu kriteria tersedia lowongan jabatan.
Batasan sebagaimana Pasal 247 dan Pasal 248 adalah mutlak dan wajib dipenuhi saat akan memberikan keputusan pemberhentian atau keputusan tidak memberhentikan. Maknanya adalah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) diberikan tanggungjawab penuh mengelola unit kerjanya dalam arti menjaga kelancaran pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.
Dari rumusan pasal dimaksud hendaknya tidak ada instansi diluar unit kerja di luar Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melakukan intervensi sehingga apa yang telah diputuskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian tidak bisa dibatalkan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan dan Konsultasi Hukum KORPRI Nasional ternyata Keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) acap kali dianulir oleh Kantor Regional Badan Kepegawaian Negara (KanReg BKN) dengan mencoret database PNS bersangkutan yang berarti sudah dianggap diberhentikan.
Uraian tersebut diatas menunjukan bahwa Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil belum mengapresiasi segala bentuk perlindungan hukum yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melaksanakan.
Problematik perlindungan hukum bagi Pegawai Negeri sipil pada dasarnya sangat luas, antara lain soal pihak yang akan melakukan pembelaan hukum di sidang pengadilan saat Pegawai Negeri Sipil tersebut dihadapkan ke meja hijau atas tuntutan jaksa penuntut umum.
Pegawai Negeri Sipil hanya bisa meminta pembelaan hukum dari advokat karena Undang-undang Advokat melarang orang perorangan atau pejabat instansi pemerintah menjadi pembela hukum di sidang pengadilan selain advokat yang telah disumpah Ketua Pengadilan Tinggi setempat. Padahal Pegawai Negeri Sipil tidak semuanya mampu membayar jasa advokat sehingga hak-hak hukumnya tidak dapat terpenuhi.
Berbeda halnya dengan pembelaan hukum bagi masyarakat miskin yang telah dijamin hak-haknya melalui Undang-undang Bantuan Hukum. Pemerintah telah menganggarkan biaya bantuan hukum untuk lembaga atau yayasan bantuan hukum yang bersedia memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.
Undang-undang tentang Bantuan Hukum itu tidak menjangkau Pegawai Negeri Sipil yang terkena masalah hukum. Padahal tidak semua pegawai Negeri Sipil memahami soal-soal hukum sehingga dengan demikian kedudukan hukum Pegawai Negeri Sipil di hadapan hakim menjadi lemah dan atau tidak seimbang dengan peran dan kemampuan jaksa penuntut umum.
Di sisi lain Korps Profesi Pegawai Aparatur Sipil Negara yang ditugaskan memberikan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 126 ayat (3) huruf.b, UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, melalui lembaga Bantuan dan Konsultasi Hukum belum optimal dilaksanakan.
Undang-undang tentang Bantuan Hukum itu tidak menjangkau Pegawai Negeri Sipil yang terkena masalah hukum. Padahal tidak semua pegawai Negeri Sipil memahami soal-soal hukum sehingga dengan demikian kedudukan hukum Pegawai Negeri Sipil di hadapan hakim menjadi lemah dan atau tidak seimbang dengan peran dan kemampuan jaksa penuntut umum.
Di sisi lain Korps Profesi Pegawai Aparatur Sipil Negara yang ditugaskan memberikan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 126 ayat (3) huruf.b, UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, melalui lembaga Bantuan dan Konsultasi Hukum belum optimal dilaksanakan.
Penyebabnya antara lain, selain Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 126 tersebut belum diterbitkan, juga belum semua instansi pemerintah di pusat maupun di daerah membentuk lembaga bantuan dan konsultasi hukum.
Demikian pula masih banyak DPRD yang kurang mengapresiasi keperluan anggaran yang dibutuhkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi Pegawai Negeri Sipil di daerah tersebut.
Selain dari pada saat ini masih terdapat perbedaan cara pandang tentang peran Korps Profesi Aparatur Sipil Negara di instansi pemerintah pusat. Kementerian Keuangan berpendapat Korps Profesi Aparatur Sipil Negara, beranggapan bahwa lingkup Korps Profesi adalah unit di luar kedinasan sehingga tidak bisa dibiayai melalui APBN, padahal peran Korps Profesi tersebut memiliki peran antara lain melalui perlindungan hukum.
Sebagaimana diketahui bentuk bentuk bantuan pemerintah kepada Pegawai Negeri Sipil telah banyak diberikan dalam bentuk kesejahteraan termasuk kesehatan, namun bentuk bantuan dalam perlindungan hukum belum diwujudkan.
Untuk melengkapi permasalahan hukum yang dihadapi Pegawai Negeri Sipil adalah soal yang berkaitan dengan ketentuan hukum yang menentukan pihak mana yang berhak menyatakan adanya kerugian negara.
Sebagaimana diketahui bentuk bentuk bantuan pemerintah kepada Pegawai Negeri Sipil telah banyak diberikan dalam bentuk kesejahteraan termasuk kesehatan, namun bentuk bantuan dalam perlindungan hukum belum diwujudkan.
Untuk melengkapi permasalahan hukum yang dihadapi Pegawai Negeri Sipil adalah soal yang berkaitan dengan ketentuan hukum yang menentukan pihak mana yang berhak menyatakan adanya kerugian negara.
Dalam praktek, saat Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa terjadinya kerugian negara mendasarkan kepada laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI).
Padahal, setidaknya ada 3 Undang-undang yang mengatur pihak yang dapat menyatakan suatu perbuatan pejabat pemerintah telah merugikan negara. Ketiga Undang-undang tersebut yaitu
1. Undang-Undang No 30 Tahun 2015 tentang Administrasi Pemerintahan, menentukan Aparatur Pemeriksa Intern Pemerintah (APIP) adalah pihak yang berwenang menentukan telah terjadi kerugian negara. APIP ditugaskan menentukan telah terjadi kerugian negara dan selanjutnya melaporkan kepada atasannya untuk selanjutnya diserahkan ke penegak hukum untuk proses penyidikan dan penuntutan hukum.
2. Undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa setiap kerugian wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor kepada Menteri/ Pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah kerugian negara tersebut diketahui.
3. Undang-undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan BPK menyatakan BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik disengaja ataupun kelalaian yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD dan lembaga atau badan lainnya yang menyelengarakan pengelolaan keuangan negara.
1. Undang-Undang No 30 Tahun 2015 tentang Administrasi Pemerintahan, menentukan Aparatur Pemeriksa Intern Pemerintah (APIP) adalah pihak yang berwenang menentukan telah terjadi kerugian negara. APIP ditugaskan menentukan telah terjadi kerugian negara dan selanjutnya melaporkan kepada atasannya untuk selanjutnya diserahkan ke penegak hukum untuk proses penyidikan dan penuntutan hukum.
2. Undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa setiap kerugian wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor kepada Menteri/ Pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah kerugian negara tersebut diketahui.
3. Undang-undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan BPK menyatakan BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik disengaja ataupun kelalaian yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD dan lembaga atau badan lainnya yang menyelengarakan pengelolaan keuangan negara.
Akankah ASN yang memiliki kasus tak bisa mendapat bantuan hukum dari korpsnya?
Kasian asn sudah jatuh tertimpa tangga
BalasHapus