.

UU MD3 Yang Baru Disahkan, Digugat ke MK

Irmanputra Sidin, Pengama Hukum Tata Negara
Jakarta - Setelah menuai kontroversi, Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) dimohonkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK).

Ketentuan yang dimohonkan uji materi itu adalah Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, Pasal 245 ayat (1).

Pakar hukum pidana Irmanputra Sidin yang mewakili pemohon, menjelaskan ada beberapa substansi gugatan dalam UU MD3 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. 

Irman mengungkapkan, ketentuan mengenai pemanggilan paksa terhadap warga masyarakat yang pada pokoknya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip DPR sebagai perwakilan rakyat itu merupakan salah satu yang dimohonkan.

"Oleh karena instrumen pemanggilan paksa merupakan instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan, sehingga tidak relevan kemudian untuk mengontrol perilaku warga masyarakat dengan menjadikan warga masyarakat sebagai korban dari pemanggilan paksa," kata Irmanputra Sidin, Rabu (14/2).

Irman mengatakan hak DPR mengambil langkah hukum terhadap warga negara bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, prinsip perwakilan melalui pemilu, sebagaimana diatur konstitusi serta bertentangan dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR itu sendiri.

"Karena, fungsi DPR bukanlah untuk melakukan langkah hukum. Namun, fungsinya hanya membentuk sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum termasuk anggaran," kata Irman.

Menurut Irman, jika DPR memanggil paksa maka sama saja akan merendahkan muruah dan kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

"Karena level DPR bukanlah orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang secara kedudukan berada pada posisi yang lemah, terlebih orang perorangan di antaranya terdapat seorang warga negara yang tua renta dan miskin papa bisa menjadi subjek digugat perdata bahkan pidana oleh lembaga sebesar DPR. Level tarung DPR adalah pelaku dan pemegang kekuasaan," ungkap Irman.

Dia mengatakan pasal Hak Imunitas Anggota DPR pada pokoknya bertentangan dengan prinsip negara hukum, di mana prinsip tersebut menjamin persamaan di muka hukum serta bertentangan dengan prinsip hak imunitas sebagaimana DPR itu sendiri yang dijamin oleh Konstitusi (pasal 20A UUD 1945).

Oleh karena Pasal a quo secara a contrario menimbulkan tafsir bahwa hak imunitas anggota DPR hanya berlaku jikalau terjadi tindak pidana yang tidak berhubungan dengan tugas dari anggota DPR, sedangkan hak imunitas tidak berlaku jika berhubungan dengan tugas dari anggota DPR.

"Padahal seharusnya hak imunitas itu diberikan terkait dengan hubungannya dengan tugas dari anggota DPR. Selain itu dalam Pasal a quo juga dapat ditafsirkan semua tindak pidana dapat dimaknai menjadi hak imunitas yang absolut, sehingga seluruh tindak pidana tidak bisa menjangkau anggota DPR," ucapnya.

Menurut Irman, dari semua pasal yang dilakukan pengujian oleh para pemohon, jelas merugikan hak konstitusional para pemohon.

"Sebagai warga negara seharusnya diperlakukan sama di dalam hukum, hak untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak pemajuan diri untuk memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Termasuk hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, hak untuk mendapatkan kebebasan berpendapat, hak untuk berkomunikasi, dan kemerdekaan pikiran, yang dengan demikian telah bertentangan dengan UUD 1945," kata Irman.

FKHK berharap perkaranya dapat segera diputus mengingat adanya kebutuhan yang mendesak karena terhadap pemberlakuan norma a quo, para pemohon dan seluruh warga negara sudah dapat langsung dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

"Oleh karenanya kami bermohon kepada MK dan dapat segera memutus permohonan sesegera mungkin atau setidak-tidaknya Mahkamah dapat memberikan putusan provisi (menerima permohonan provisi)," kata Irman.

Tidak ada komentar