Cakada "Kandata"?
KOLOM
Kolumnis, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
Kembali penyelenggaraan pilkada disentakkan oleh cakada (calon kepala daerah) yang terjerat kasus korupsi. Sepertinya bangsa ini tidak lelah dirundung derita memanen penguasa yang diproduk dari mekanisme demokrasi tetapi rajin “ngapusi” karena korupsi ditenteng tanpa henti. Laksana “abah” dan “umi” yang semula lawan politik berubah menjadi “sejoli” yang digiring dengan tebaran prosesi sebagai “cawali yang disemat terlibat korupsi”. Beritanya besar-besar dan ditampilkan di halaman muka. Ini adalah kampanye paling gratisan tanpa perlu mengundang awak media. Foto dipampang dengan “aksi yang paling asli” sambil dianggitkan tersangka yang sebagian pihak tidak pernah menduga.
Sungguh kasus yang menimpa para cakada memberikan keperihan pada publik sekaligus pembelajaran untuk khalayak dalam menikmati seleksi “hukum” akan hadirnya orang-orang yang bersih pada coblosan 27 Juni 2018 nanti. Meski demikian, sebagian pihak tetap kukuh pada pendirian bahwa “cakada” yang dibopongnya tetaplah orang “suci” yang tidak berlaku korupsi, dia selama ini dikenal sang pendharma sejati. Selama belum ada putusan hukum yang berkekuatan yuridis pasti janganlah buru-buru menghakimi cakada pilihannya, mengingat cerita sedang dipanggungkan dan waktu masih jauh dari gelagak tutup layar.
Betapa para cakada dan tim suksesnya itu percaya diri dengan hati yang tidak merasa risih, meski mengkhawatirkan seperti yang sudah-sudah di era sebelum ini, cakada maupun caleg yang terang-terangan distempel tersangka korupsi pada tahapan selanjutnya dapat melenggang menuju kursi “pelaminan bergengsi”. Sampai pada kasunyatan ini terasa sekali bahwa antara cakada dengan pemilihnya sama-sama memasuki “keranda demokrasi” yang “mendekap nilai-nilai menipu diri”. Korupsi boleh diwartakan apa saja, tetapi pemilihan tetaplah digelorakan sepengaturan hukum bahwa hal ini bukanlah “nista” selama belum ada putusan yang berketetapan penuh (“full legal binding”). Apalagi soal dana korupsi yang diyakini tidak dimakan sendiri, sehingga budi baik tetaplah ada di para pemilih yang suka menerima “tebaran uang” yang terselib di balik klambi.
Fenomena korupsi yang “diimani” seperti “jalan untuk mengabdi” dengan menaburi “halaman rumah” penuh sambutan “selamat datang cakada pembagi rejeki”, memanglah unik. Soal dari mana kau taburkan uang di kolong-kolong rumah pemilih bukanlah urusan mereka, tetapi pandanglah ini sebagai kebaikan. Itulah awal dari kehancuran sebuah peradaban yang hidup sangat pandai memberikan dalil-dalil mengabsahkan nyolong yang dianggap halal hingga diyakini “ini adalah kemuliaan”, apapaun wujudnya. Pemaknaan ini mengingatkan saya pada cerpen The Spider’s Thread” (1961) yang ditulis Ryunosuke Akutagawa (1892-1927). Dia adalah pengarang terkemuka Jepang dan namanya diabadikan sebagai penghargaan sastra paling bergengsi di negaranya.
Cerpen Jaring Laba-laba telah menjadi bagian dari Sehimpun Cerpen Terbaik Dunia Sepanjang Masa yang dikompilasi oleh kurator Anton Kurnia (2016). Ceritanya: saat itu hari masih pagi di surga. Sejenak sang Buddha berdiri di tepi Kolam Teratai, melalui celah terbuka di antara dedaunan yang menutupi permukaan air, tiba-tiba terpampang sebuah pemandangan. Matanya tertumbuk pada seorang lelaki bernama Kandata yang berada di dasar neraka bersama para pendosa lainnya. Kandata semasa hidupnya adalah seorang perampok kelas berat yang telah banyak berbuat kejahatan; membunuh, membakar rumah dan hanya memiliki satu kebaikan. Suatu kali saat dia berjalan di tengah hutan belantara, dilihatnya seekor laba-laba sedang merayap di tepi jalan. Dengan cepat ia mengangkat kakinya bermaksud hendak menginjaknya, namun tiba-tiba ia berpikir: ah tidak, tidak. Sekecil inipun dia mempunyai nyawa. Alangkah memalukannya bila aku membunuhnya tanpa alasan. Dia pun membiarkan laba-laba itu tetap hidup.
Ketika memandang ke neraka, sang Buddha teringat bagaimana Kandata telah menyelamatkan seekor laba-laba. Sang Buddha dengan tenang mengambil seutas jaring laba-laba dan dijatuhkannya benang itu ke dasar neraka yang terhampar di antara bunga-bunga teratai yang berwarna seputih mutiara. Perampok ulung itu, Kandata tengah terbenam di dalam genangan darah, tak bisa berbuat apa-apa selain berjuang agar tak tenggelam di kolam seperti seekor kodok sekarat. Namun saatnya telah tiba. Hari ini Kandata mengangkat kepalanya secara kebetulan dan menatap langit di atas Kolam Darah. Dia melihat seutas jaring laba-laba berwarna keperakan yang menjulur ke arahnya dari arah surga yang tinggi. Melihat itu Kandata bertepuk kegirangan untuk merangkak. Jika semuanya berjalan lancar dia bisa mencapai surga. Itu berarti dia akan terbebas dari Gunung Jarum dan Kolam Darah. Adapun soal memanjat jaring itu bagi mantan perampok ulung bukanlah hal yang asing baginya.
Kandata telah memanjatnya dan Kolam Darah tampak tersembunyi di balik kegelapan dan Gunung Jarum sependar samar-samar di bawahnya. Kandata berteriak nyaring kegirangan setelah bertahun-tahun terpuruk di dasar neraka. “Berhasil”, teriaknya. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang ke bawah jaring itu dan melihatnya para pendosa lain ternyata ikut berduyun-duyun memanjat penuh semangat menggapai jejaknya, naik dan terus naik bagaikan upacara para semut. Saat itulah Kandata terbelalak dengan mulut ternganga. Bagaimana mungkin jaring laba-laba yang tipis ini dapat menahan sebanyak itu, sementara untuk menahan beban tubuhnya sendiri saja nyaris putus. Jika jaring itu sampai putus, dia akan jatuh kembali ke dasar neraka setelah berhasil mencapai titik pengharapan. Kini ratusan bahkan ribuan pendosa merayap naik dari kegelapan Kolam Darah dan memanjat sekuat tenaga. Kandata pun menghardik dengan suara lantang: “hai, kalin para pendosa, jaring laba-laba ini milikku. Siapa yang memberimu izin naik mengikutiku? Turun! Turun!”.
Tepat pada saat itulah, seutas jaring tipis itu, yang sejauh ini tak menunjukkan tanda-tanda akan putus, tiba-tiba putus tepat di titik Kandata tengah bergantung. Tanpa sempat menjerit, dia meluncur deras ke arah kegelapan, terus melayang, berputar dan berputar. Setelah semuanya usai, hanya sisa jaring laba-laba surga itu saja yang tampak bergoyang berkilat-kilat, bergantung di langit tak berawan. Ya … sambil berdiri di tepi Kolam Teratai di surga, sang Buddha menatap dari dekat semua kejadian tadi. Saat itu hari beranjak telah menjelang siang di surga.
Cerita yang menawan dan memberikan pesan betapa egoisme itu pada akhirnya tetaplah menyengsarakan, walau pernah membersitkan kebaikan. Kejadian “pesta suap” merupakan fenomena laku korupsi yang amat brutal dan menjerembabkan pribadi siapa saja yang “bermesraan dengannya”. Memang, seperti yang ditulis Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi dalam bukunya Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia, Dari Daendels (1808-1811) Sanpai Era Reformasi: Korupsi menjadi isu abadi, isu yang selalu menghantui Tanah Air. Bahkan sejak zaman Diponegoro (1785-1855). Masalah korupsi juga menjadi pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) meskipun tak pernah sekalipun dibahas dalam buku sejarah sekolah. Selama hampir 200 tahun sejak Diponegoro menampar patih di hadapan para kerabat sultan di Keraton Yogya, isu korupsi dan cara menghadapinya tidak banyak mengalami perubahan. Bagi saya, kita semua harus mampu memungkasi kondisi yang amat memperhinakan bangsa ini.
Sungguh kasus yang menimpa para cakada memberikan keperihan pada publik sekaligus pembelajaran untuk khalayak dalam menikmati seleksi “hukum” akan hadirnya orang-orang yang bersih pada coblosan 27 Juni 2018 nanti. Meski demikian, sebagian pihak tetap kukuh pada pendirian bahwa “cakada” yang dibopongnya tetaplah orang “suci” yang tidak berlaku korupsi, dia selama ini dikenal sang pendharma sejati. Selama belum ada putusan hukum yang berkekuatan yuridis pasti janganlah buru-buru menghakimi cakada pilihannya, mengingat cerita sedang dipanggungkan dan waktu masih jauh dari gelagak tutup layar.
Betapa para cakada dan tim suksesnya itu percaya diri dengan hati yang tidak merasa risih, meski mengkhawatirkan seperti yang sudah-sudah di era sebelum ini, cakada maupun caleg yang terang-terangan distempel tersangka korupsi pada tahapan selanjutnya dapat melenggang menuju kursi “pelaminan bergengsi”. Sampai pada kasunyatan ini terasa sekali bahwa antara cakada dengan pemilihnya sama-sama memasuki “keranda demokrasi” yang “mendekap nilai-nilai menipu diri”. Korupsi boleh diwartakan apa saja, tetapi pemilihan tetaplah digelorakan sepengaturan hukum bahwa hal ini bukanlah “nista” selama belum ada putusan yang berketetapan penuh (“full legal binding”). Apalagi soal dana korupsi yang diyakini tidak dimakan sendiri, sehingga budi baik tetaplah ada di para pemilih yang suka menerima “tebaran uang” yang terselib di balik klambi.
Fenomena korupsi yang “diimani” seperti “jalan untuk mengabdi” dengan menaburi “halaman rumah” penuh sambutan “selamat datang cakada pembagi rejeki”, memanglah unik. Soal dari mana kau taburkan uang di kolong-kolong rumah pemilih bukanlah urusan mereka, tetapi pandanglah ini sebagai kebaikan. Itulah awal dari kehancuran sebuah peradaban yang hidup sangat pandai memberikan dalil-dalil mengabsahkan nyolong yang dianggap halal hingga diyakini “ini adalah kemuliaan”, apapaun wujudnya. Pemaknaan ini mengingatkan saya pada cerpen The Spider’s Thread” (1961) yang ditulis Ryunosuke Akutagawa (1892-1927). Dia adalah pengarang terkemuka Jepang dan namanya diabadikan sebagai penghargaan sastra paling bergengsi di negaranya.
Cerpen Jaring Laba-laba telah menjadi bagian dari Sehimpun Cerpen Terbaik Dunia Sepanjang Masa yang dikompilasi oleh kurator Anton Kurnia (2016). Ceritanya: saat itu hari masih pagi di surga. Sejenak sang Buddha berdiri di tepi Kolam Teratai, melalui celah terbuka di antara dedaunan yang menutupi permukaan air, tiba-tiba terpampang sebuah pemandangan. Matanya tertumbuk pada seorang lelaki bernama Kandata yang berada di dasar neraka bersama para pendosa lainnya. Kandata semasa hidupnya adalah seorang perampok kelas berat yang telah banyak berbuat kejahatan; membunuh, membakar rumah dan hanya memiliki satu kebaikan. Suatu kali saat dia berjalan di tengah hutan belantara, dilihatnya seekor laba-laba sedang merayap di tepi jalan. Dengan cepat ia mengangkat kakinya bermaksud hendak menginjaknya, namun tiba-tiba ia berpikir: ah tidak, tidak. Sekecil inipun dia mempunyai nyawa. Alangkah memalukannya bila aku membunuhnya tanpa alasan. Dia pun membiarkan laba-laba itu tetap hidup.
Ketika memandang ke neraka, sang Buddha teringat bagaimana Kandata telah menyelamatkan seekor laba-laba. Sang Buddha dengan tenang mengambil seutas jaring laba-laba dan dijatuhkannya benang itu ke dasar neraka yang terhampar di antara bunga-bunga teratai yang berwarna seputih mutiara. Perampok ulung itu, Kandata tengah terbenam di dalam genangan darah, tak bisa berbuat apa-apa selain berjuang agar tak tenggelam di kolam seperti seekor kodok sekarat. Namun saatnya telah tiba. Hari ini Kandata mengangkat kepalanya secara kebetulan dan menatap langit di atas Kolam Darah. Dia melihat seutas jaring laba-laba berwarna keperakan yang menjulur ke arahnya dari arah surga yang tinggi. Melihat itu Kandata bertepuk kegirangan untuk merangkak. Jika semuanya berjalan lancar dia bisa mencapai surga. Itu berarti dia akan terbebas dari Gunung Jarum dan Kolam Darah. Adapun soal memanjat jaring itu bagi mantan perampok ulung bukanlah hal yang asing baginya.
Kandata telah memanjatnya dan Kolam Darah tampak tersembunyi di balik kegelapan dan Gunung Jarum sependar samar-samar di bawahnya. Kandata berteriak nyaring kegirangan setelah bertahun-tahun terpuruk di dasar neraka. “Berhasil”, teriaknya. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang ke bawah jaring itu dan melihatnya para pendosa lain ternyata ikut berduyun-duyun memanjat penuh semangat menggapai jejaknya, naik dan terus naik bagaikan upacara para semut. Saat itulah Kandata terbelalak dengan mulut ternganga. Bagaimana mungkin jaring laba-laba yang tipis ini dapat menahan sebanyak itu, sementara untuk menahan beban tubuhnya sendiri saja nyaris putus. Jika jaring itu sampai putus, dia akan jatuh kembali ke dasar neraka setelah berhasil mencapai titik pengharapan. Kini ratusan bahkan ribuan pendosa merayap naik dari kegelapan Kolam Darah dan memanjat sekuat tenaga. Kandata pun menghardik dengan suara lantang: “hai, kalin para pendosa, jaring laba-laba ini milikku. Siapa yang memberimu izin naik mengikutiku? Turun! Turun!”.
Tepat pada saat itulah, seutas jaring tipis itu, yang sejauh ini tak menunjukkan tanda-tanda akan putus, tiba-tiba putus tepat di titik Kandata tengah bergantung. Tanpa sempat menjerit, dia meluncur deras ke arah kegelapan, terus melayang, berputar dan berputar. Setelah semuanya usai, hanya sisa jaring laba-laba surga itu saja yang tampak bergoyang berkilat-kilat, bergantung di langit tak berawan. Ya … sambil berdiri di tepi Kolam Teratai di surga, sang Buddha menatap dari dekat semua kejadian tadi. Saat itu hari beranjak telah menjelang siang di surga.
Cerita yang menawan dan memberikan pesan betapa egoisme itu pada akhirnya tetaplah menyengsarakan, walau pernah membersitkan kebaikan. Kejadian “pesta suap” merupakan fenomena laku korupsi yang amat brutal dan menjerembabkan pribadi siapa saja yang “bermesraan dengannya”. Memang, seperti yang ditulis Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi dalam bukunya Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia, Dari Daendels (1808-1811) Sanpai Era Reformasi: Korupsi menjadi isu abadi, isu yang selalu menghantui Tanah Air. Bahkan sejak zaman Diponegoro (1785-1855). Masalah korupsi juga menjadi pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) meskipun tak pernah sekalipun dibahas dalam buku sejarah sekolah. Selama hampir 200 tahun sejak Diponegoro menampar patih di hadapan para kerabat sultan di Keraton Yogya, isu korupsi dan cara menghadapinya tidak banyak mengalami perubahan. Bagi saya, kita semua harus mampu memungkasi kondisi yang amat memperhinakan bangsa ini.
Tidak ada komentar