.

Dilema Hukum Pemberhentian ASN Korupsi

Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). (Foto:RM)
Meskipun Mendagri, MenPANRB, dan Kepala BKN telah menandatangani SKB pemberhentian ASN koruptor, namun ada persoalan hukum dalam kebijakan ini.
Persoalan korupsi di negeri ini memang masih membuat muram wajah Ibu Pertiwi. Korupsi tak hanya dilakukan oleh seorang publik figure yang menduduki pemerintahan dan duduk di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saja, melainkan sudah menjamur di daerah. Sedihnya, tak hanya pejabatnya, melainkan merembet ke pegawai ASN di daerah. 

Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan fakta, ada 2.357 ASN yang telah diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi, namun ternyata mereka masih berstatus sebagai ASN atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), sungguh ini merupakan hal yang membuat publik berdecak. Berapa banyak uang rakyat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dipergunakan untuk menggaji mereka selama ini.

Tak ayal, Ketua KPK Agus Rahardjo mengkritis situasi ini. Hukuman yang dijatuhkan kepada mereka yang mengeruk uang rakyat seolah tak membuat mereka jera, lantaran mereka tetap menikmati gaji yang diberikan oleh negara.

"Kondisi ini menunjukkan tidak optimalnya pemberantasan korupsi karena upaya penegakan hukum yang sudah berjalan menjadi tidak menimbulkan efek jera," kata Agus dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (4/9/2018) lalu.

Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun kemudian mendesak Pemerintah memecat 2.357 ASN terpidana Korupsi. Jumlah itu menurut KPK berasal dari data Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang melakukan penelusuran data di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM RI. Sementara, menurut data BKN, ada sebanyak 317 ASN yang telah diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang telah diberhentikan dengan tidak hormat.

Agus Rahardjo pun menilai, apabila ASN tersebut tidak segera diberhentikan maka dapat menimbulkan kerugian. Hal itu karena ada kelalaian administrasi yang menjadikan ASN korupsi masih aktif dan menerima gaji. 

SKB Pemecatan Koruptor

Mencermati perkembangan penanganan ASN koruptor, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPANRB), dan Kepala BKN membuat Surat Keputusan Bersama (SKB). SKB yang diteken pada tanggal 13 September 2018 oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, MenPANRB Syafruddin, dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana itu secara umum mengatur pemberhentian ASN yang melakukan tindak pidana korupsi.

Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, pelaksanaan SKB itu paling lambat pada bulan Desember 2018 mendatang. Ia menambahkan, SKB tersebut merupakan tindak lanjut pembahasan atas usulan KPK yang telah dilakukan oleh Mendagri bersama MenPANRB, Kepala BKN di Kantor KPK pada 4 September 2018 lalu.

Kemudian, Mendagri menindaklanjuti SKB itu dengan  menerbitkan Surat Edaran  Nomor 180/6867/SJ tentang Pemecatan ASN yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Surat edaran ini menggantikan Surat Edaran Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 yang di surat edaran lama itu seolah memuluskan PNS koruptor masih boleh menduduki jabatan structural.

Atas SKB itu, Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengungkapkan pihaknya tengah melakukan verifikasi data ASN yang telah diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan telah berkekekuatan hukum tetap atau inkracht.

Dilema Hukum

Banyaknya ASN yang telah diputus bersalah melakukan tindakan korupsi itu dan tetap menerima gaji dan setelah menjalani hukuman dapat kembali bekerja, ada sebuah tanda tanya besar mengapa hal itu dapat terjadi dan dibiarkan begitu lama?

Melihat hal tersebut, pengamat hukum pemerintahan Nurmadjito Pramu, SH, MH berpandangan,  ada beberapa alasan hukum bagi kepala daerah yang dapat diikuti untuk mengetahui alasan  tidak dilakukan pemecatan, yakni ada ketentuan pasal di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) membuka peluang bagi Kepala Daerah untuk tidak memberhentikan, karena pasal tersebut sangat jelas menyebutkan bagi PNS yang telah selesai menjalani pidananya,  diberikan pilihan yaitu diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan.

Selain itu, masih menurut Nurmadjito, ada Pasal lain di UU ASN mengatur pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri hanya ditujukan kepada PNS yang dipidana paling singkat 2 (dua) tahun, artinya PNS yang dihukum kurang dari 2 (dua) tahun terbebas dari ketentuan itu.

Masih menurut Nurmadjito, UU ASN mengatur sanksi dalam  bentuk pilihan antara “Pemberhentian  Tidak Dengan Hormat (PTDH)” dikarenakan melakukan tindak pidana atau “tidak diberhentikan”, sebagaimana disebut Pasal 87 ayat (2).

Secara lengkap Pasal 87 ayat (2) UU ASN itu berbunyi, “PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana”.

Lebih lanjut diutarkan Nurmadjito, norma hukum dengan kualifikasi alternatif ini menunjukkan sikap pembentuk undang-undang memberikan kesempatan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) memilih atau menentukan keputusan yang terbaik bagi instansi yang dipimpin agar roda birokrasi berjalan dan terbaik pula bagi ASN yang telah mengabdi dan berkarya di instansi puluhan tahun serta memikirkan nasib keuangan dari anggota keluarganya pasca pemecatan dirinya.
Apalagi  Pasal 87 ayat (2) memberikan batasan yang jelas, yaitu (a) masa hukuman paling singkat 2 (dua) tahun dan (b) pidana yang dilakukan tidak berencana. Norma hukum ini mengandung arti bahwa hukuman kurang dari 2 (dua) tahun, misalnya  hukuman18 (delapan belas) bulan atau 1 (satu) tahun,  membuka peluang bagi PPK untuk menentukan pengaktifan kembali ASN yang telah selesai menjalani masa hukumannya.  

Sedangkan mengenai kriteria “pidana yang dilakukan tidak berencana” dalam prakteknya amat sulit diterapkan. Hal itu lantaran serting kali amar putusan atau pertimbangan hukum putusan hakim sering kali tidak menyebutkannya.

Selain dari norma hukum yang mengandung makna alternatif, pembentuk UU ASN juga membangun norma hukum yang bernada pasti, seperti disebutkan  (a) Pasal 87 ayat (4) huruf, b, berbunyi: “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum”, dan (b) Pasal 87 Ayat (4) huruf, d, berbunyi: “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

Pengamat Hukum Pemerintahan Nurmadjito Pramu juga berpandangan, norma hukum Pasal 87 ayat (4) huruf (b), mengatur secara tegas sanksi bagi ASN  yang kriteria tindak pidananya adalah kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum. Untuk menerapkan norma hukum ini, PPK harus mengacu kepada undang-undang yang mengatur kejahatan atau tindak pidana kejahatan, yaitu Bab VIII dan Bab XXVIII KUHPidana yang mengatur pelanggaran jabatan dan kejahatan jabatan dan Undang-Undang lain yang mengatur pemidanaan Pegawai Negeri yang melanggar UU tersebut, misalnya UU Tindak Pidana Korupsi, dan UU lain yang sejenis.

Atas norma hukum tersebut, lanjut Nurmadjito, bagi PPK yang akan menjatuhkan sanksi hukuman tidak mempunyai alternatif/memilih karena kriterianya sudah jelas.

Mengenai norma hukum Pasal 87 ayat (4) huruf d, dapat dikatakan hampir menyerupai norma hukum Pasal 87 ayat (2) namun yang membedakan adalah kualifikasi dari delik yang disebutkan “dilakukan dengan berencana”, sehingga dengan demikian untuk perbuatan pidana yang hukumannya kurang dari 2 (dua) tahun walaupun perbuatannya dilakukan berencana, tidak dapat diterapkan atas norma hukum ini.

Perbedaan Sudut Pandang

Dari sisi substantif, menunjukkan bahwa konstruksi UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN  dinilai ambivalen, khususnya dalam mekanisme pemberhentian ASN. Di satu sisi memberikan peluang bagi PPK memberikan pilihan penjatuhan sanksi yang dilihat dari  masa hukuman dan bentuk pertanggungjawaban perbuatan, di sisi lain, tidak memberikan peluang bagi PPK menjatuhkan sanksi bagi ASN yang melanggar hukum.

Lantaran hal itulah UU ASN tidak diikuti oleh terbitnya aturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah. Oleh karenanya, dalam prakteknya, Kepala Daerah (bupati, walikota, gubernur) memiliki cara pandang yang berbeda satu sama lain.

Kemungkinan itu juga mempunyai perbedaan cara pandang dengan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga KPK menyarankan agar seorang ASN yang dijatuhi hukuman penjara karena perbuatan pidananya atau deliknya tindak pidana korupsi, harus diberhentikan dengan tidak hormat.  Dalam kenyataannya ASN yang bersangkutan setelah lepas dari menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan, oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), diangkat kembali serta diberikan tugas dalam jabatannya sesuai ketentuan UU.

Apabila mengacu pada permintaan KPK tersebut, yaitu alasan mengenai ASN yang telah dijatuhi hukuman pidana korupsi dan berkekuatan hukum tetap harus diberhentikan tidak hormat tanpa melihat masa hukumannya, dapat menimbulkan persoalan juga. Apalagi bagi ASN yang telah memperoleh Keputusan Pengangkatan Kembali oleh PPK.  

Mengacu pada pendapat tersebut, dapat diartikan bahwa Keputusan Pengangkatan Kembali itu harus dianulir dengan Keputusan Pencabutan Pengangkatan dan menyatakan yang bersangkutan diberhentikan dengan kualifikasi “Tidak Dengan Hormat”.

Pemintaan KPK kepada Kepala Daerah mencabut  Keputusan Pengangkatan Kembali ASN dengan menggantikan dengan Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat membawa persoalan hukum dalam pelaksanaannya. Hal itu dikarenakan Pasal 252 Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri  telah  mengatur Pemberhentian PNS yang dihitung dari mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. 

Untuk memahami ketentuan hukum tersebut   adalah terkait dengan Pasal 251 Pasal 252 Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, sebagai peraturan pemerintah pelaksana UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN.   Pasal 251 berbunyi “PNS yang dipidana dengan penjara kurang dari 2 (dua) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan berencana, diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS”, dan Pasal 252 berbunyi “Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 huruf b dan huruf d dan Pasal 251 ditetapkan terhitung mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap”

Dapat Digugat di PTUN

Hal yang menjadi keengganan Kepala Daerah memberhentikan ASN terpidana, dikarenakan perkara korupsi PNS itu sudah diputus pengadilan sejak beberapa tahun lalu, sehingga mustahil dilaksanakan pada saat ini apalagi peraturan pemerintah baru terbit tahun 2017.  Dalam kenyataan sebanyak 2.357 PNS telah diaktifkan kembali sebelum berlakunya PP 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Apabila akan mengikuti anjuran KPK dikeluarkan Keputusan Pemberhentian dengan Tidak Hormat pada saat sudah berlakunya PP 11 Tahun 2017, kedudukan hukum Kepala Daerah tersebut lemah dan rentan digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Kelemahan hukum yang harus dihadapi Kepala Daerah adalah terbentur pada ketentuan   UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur dan mensyaratkan apabila akan dilakukan pencabutan atau pembatalan suatu Keputusan.

Pasal 64 ayat (1) UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, mengatur pencabutan keputusan   hanya dapat dilakukan apabila terdapat cacat  (a) wewenang (b) prosedur dan/atau (c) substansi.  Ayat (2) Pasal 64 mensyaratkan  pencabutan keputusan harus diterbitkan keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Ayat (3) Pasal 64 menetapkan pihak  yang diberi wewenang mengeluarkan keputusan pencabutan, yaitu (a) pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; (b) Atasan Pejabat Pemerintahan yang menetapkan keputusan; dan (c) atas perintah pengadilan.

Apabila keputusan pencabutan dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan atau oleh Atasan Pejabat Pemerintahan disyaratkan ayat (4) Pasal 64, yaitu dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diketemukannya dasar pencabutan  dan berlaku sejak tanggal ditetapkan pencabutan. Apabila keputusan pencabutan dilakukan atas perintah Pengadilan ditentukan ayat (5) Pasal 64 yaitu harus dilakukan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak perintah pengadilan tersebut, dan berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan pencabutan.

Dari sisi substansi,  UU No. 30 Tahun 2014 mengatur dalam Pasal 64 ayat (1) huruf,c, yang menyebutkan keputusan pencabutan hanya dapat dilakukan apabila terdapat cacat “substansi”. Dalam kenyataan Kepala Daerah saat menerbitkan keputusan pengaktifan kembali telah memenuhi syarat. Namun ketika akan dilakukan pencabutan atau pembatalan Keputusan memenuhi kesulitan karena tidak dapat memenuhi atau melanggar persyaratan yang terkait dengan soal substansi.

Penjelasan UU No 30 tahun 2014 membatasi pengertian “cacat substabsi” mencakup 4 (empat) pengertian, (1) Keputusan tidak dilaksanakan oleh penerima keputusan sampai batas waktu yang ditentukan; (2) fakta-fakta dan syarat-syarat hukum yang menjadi dasar keputusan  telah berubah; (3) Keputusan dapat membahayakan dan merugikan kepentingan umum; atau (4) keputusan tidak digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam isi keputusan. Terkait dengan pembatalan atau pencabutan keputusan pengaktifkan kembali sebagaimana diusulkan KPK, adalah terkait soal fakta  dan syarat  hukum yang menjadi  dasar keputusan dan Keputusan itu membahayakan dan merugikan kepentingan umum.

Dua Kriteria tersebut diatas sebagai alasan pencabutan, adalah hal yang sulit dipenuhi dan  menimbulkan keengganan Kepala Daerah menganulir keputusan sesuai permintaan KPK.  Alasannya adalah Kepala Daerah saat menerbitkan keputusan pengaktifkan kembali ASN mantan terpidana korupsi telah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, namun ketika harus mencabut atau membatalkannya terbentur pada ketentuan ayat  (2) Pasal 64   UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan. Kepala Daerah akan kesulitan mencantumkan dasar hukum pencabutan, karena dasar untuk mencabut keputusan hanya terbatas permintaan atau himbauan KPK yang dari perspektif hukum tidak memenuhi kriteria sebagai dasar hukum pencabutan. Demikian pula dalam kerangka pencabutan keputusan,  sama sekali tidak ada perintah pengadilan.

Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN)  terungkap  jumlah ASN yang telah selesai menjalani hukuman dan diangkat/diaktifkan kembali  oleh PPK mencapai 2.357 orang, dan oleh BKN dianggap keputusan Keputusan mengaktifkan kembali 2.357 ASN melanggar UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, maka   BKN meminta agar PPK atau kepala Daerah menganulir  keputusan dan menerbitkan Keputusan baru Pencabutan Pengangkatan dan menyatakan yang bersangkutan diberhentikan dengan kualifikasi “Tidak DenganHormat”.

Mengingat persoalan ini telah berlangsung lama dan tidak ada respon dari Kepala Daerah selaku PPK  maka untuk memperkuat kebijakannya BKN menghentikan pembayaran gaji bagi ASN yang diangkat PPK dengan cara memblokir sistem penggajian, sehingga dengan demikian ASN yang sudah diangkat kembali sehingga tidak menerima gaji.

Persoalan pemblokiran gaji yang dilakukan itu justru menunjukkan terjadi masalah  yang   terkait dengan hak asasi manusia, bagi seseorang yang telah dinyatakan aktif bekerja menurut hukum kemudian oleh ketentuan lain harus dihentikan. Problem pemberhentian seoarang PNS adalah terkait dengan soal masa depan dan soal kemanusiaan lainnya. Sehingga tidak bisa begitu saja atau tanpa alasan hukum yang tepat mengakhiri karier seorang PNS.

Persoalan hukum lain yang perlu mendapat perhatian adalah wujud kesewenang-wenangan dari Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, secara jelas Undang-undang ini bermaksud memberikan hukuman ganda bagi ASN, yaitu penghukuman pidana oleh Pengadilan dan penghukuman  administratif  oleh Pemerintah selaku pemberi kerja. Konstruksi hukum yang diwujudkan dalam UU ASN ini hakekatnya bertentangan dengan asas hukum pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik yang diatur dalam Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Asas yang dilanggar adalah asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan keseimbangan, keserasian  dan keselarasan. Oleh karena itu kiranya semua pihak memahami terutama Penegak Hukum (KPK) bahwa pemberhentian dengan tidak dengan hormat atau disebut dengan pemecatan seorang ASN yang terbukti melakukan tindak pidana, seyogyanya diserahkan atau menjadi amar putusan hakim. Dari oleh sebab itu, posisi pemerintah (PPK) hanya melaksanakan putusan hakim pengadilan dan bukan menggandakan hukuman. (NUR/AP)

2 komentar:

  1. Kalau mau pecat pecat semuanya jangan pandang bulu. contoh hingga tanggal 30 April2019 sesuai Surat Kemenpan RB tentang PTDH, orang sudah nyata Korupsi tidak dipecat dan tidak ada dalam daftar Kemenpan RB sementara say hanya terkait administrasi langsung PTDH inikah keadilan itu, masih Percayakah kita kepad HUKUM di NKRI ini, Hanya Tuhanlah yang Tau.

    BalasHapus