.

Karena HAM, UU ASN Dinilai Bertentanan UUD 1945

Sebelum memutuskan PTDH seyogianya memperhatikan berbagai faktor dan hukum yang ada. (Foto:ilustrasi)
Jakarta - Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 182/6597/SJ, No.15 Tahun 2018 dan No.153/KEP/2018 tanggal 13 September 2018 dan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.20 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Pemberhentian Aparatur Sipil Negara yang Tebukti Melakukan Tindak Pidan Korupsi menuari pro kontra.

Surat keputusan bersama tersebut dinilai tidak mengindahkan ketentuan atau melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945.  Hal itu lantaran keputusan bersama dan surat edaran itu menyebabkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah diaktifkan kembali oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) setelah mereka menjalani pemidanaan, akan dicabut dan digantikan oleh Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).

Kondisi tersebut dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) karena ASN yang telah diputus bersalah oleh Pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap itu telah menjalani masa hukumannya. Pencabutan pengaktifan kembali dan penggantian status menjadi PTDH itu tentu akan berpengaruh pada hak ASN tersebut untuk mendapatkan pendapatan dan hak penghidupan yang layak sebagaimana diatur dalam konstitusi. 

Nurmadjito, SH, MH Pengamat Hukum Pemerintahan.
Pengamat Hukum Pemerintahan Nurmadjito, SH, MH, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) membuka peluang bagi Kepala Daerah untuk tidak memberhentikan, karena pasal tersebut sangat jelas menyebutkan bagi PNS yang telah selesai menjalani pidananya,  diberikan pilihan yaitu diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) membuka peluang bagi Kepala Daerah untuk tidak memberhentikan, karena pasal tersebut sangat jelas menyebutkan bagi PNS yang telah selesai menjalani pidananya,  diberikan pilihan yaitu diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan.

Selain itu, masih menurut Nurmadjito, ada Pasal lain di UU ASN mengatur pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri hanya ditujukan kepada PNS yang dipidana paling singkat 2 (dua) tahun, artinya PNS yang dihukum kurang dari 2 (dua) tahun terbebas dari ketentuan itu.

Masih menurut Nurmadjito, UU ASN mengatur sanksi dalam  bentuk pilihan antara “Pemberhentian  Tidak Dengan Hormat (PTDH)” dikarenakan melakukan tindak pidana atau “tidak diberhentikan”, sebagaimana disebut Pasal 87 ayat (2).

Lebih lanjut diutarakan Nurmadjito, norma hukum dengan kualifikasi alternatif ini menunjukkan sikap pembentuk undang-undang memberikan kesempatan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) memilih atau menentukan keputusan yang terbaik bagi instansi yang dipimpin agar roda birokrasi berjalan dan terbaik pula bagi ASN yang telah mengabdi dan berkarya di instansi puluhan tahun serta memikirkan nasib keuangan dari anggota keluarganya pasca pemecatan dirinya.

Bertentangan dengan UUD 1945

Sementara itu, Nurmadjito berpandangan, UU ASN dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan d UU ASN. Bunyi kedua ketentuan tersebut adalah :

  • Pasal 87 ayat (4) huruf, b, berbunyi: “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum”
  • Pasal 87 Ayat (4) huruf, d, berbunyi: “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
Ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasl 28D ayat (1) dan 28I ayat (2) UUD 1945. Dalam Pasal 28D ayat (1) disebutkan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum."

Kemudian untuk Pasal 28I ayat  (2) UUD 1945 berbunyi, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersikap diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."

Oleh karena itu, Nurmadjito berharap agar Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) maupun pengambil keputusan tertinggi di daerah, apakah itu gubernur maupun bupati/walikota dapat memperhatikan betul dan mempertimbangan HAM terhadap pegawai terpidana korupsi yang sudah diaktifkan kembali itu.(AS)

Tidak ada komentar