Isu Lingkungan Belum Terselesaikan, Divestasi Freeport Terancam Gagal
![]() |
Kawasan pertambanan PT Freeport Indonesia menyimpan masalah lingkungan. Foto:Ist. |
Jakarta - Persoalan Freeport memang menarik untuk diikuti. Pertambangan emas raksasa yang di kelola oleh PT Freeport Indonesia ini menjadi daya tarik siapapun untuk menguasainya, karena di Bumi Papua itu tidak hanya emas namun tembaga dikabarkan tersimpan banyak di sana.
Juli 2018 lalu, PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia membuat Head of Agreement (HoA) soal divestasi saham sebesar 51%. Tak tanggung-tanggung, dana yang harus dikeluarkan untuk membayarnya sebesar 3,85 miliar dolar Amerika Serikat. Lewat PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) pemerintah akan menjadi pemegang 51% saham PT Freeport Indonesia.
PT Inalum tentunya tak kuat membayar sendiri dana sejumlah itu. Disebut-sebut ada 11 bank asing yang akan menggelontorkan dananya untuk membayar diverstasi saham tersebut.
Namun, ternyata masih ada ganjalan dalam pembayarannya itu. Dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP) yang digelar Komisi VII DPR RI pada Kamis (18/10), BPK menemukan adanya kerugian sebesar 185 triliun rupiah yang disebabkan aktivitas penambangan PT Freeport Indonesia.
“Ekosistem yang rusak kalau direhabilitasi, itu Rp 185 triliun. Lazimnya kalau akuisisi ada due diligence, apakah faktor lingkungan sudah dipertimbangkan, dan jadi beban siapa?” tanya Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa isu lingkungan tersebut dapat menjadi faktor penghambat divestasi. Ia mengatakan, bank-bank yang membentuk sindikasi untuk membayar divestasi tersebut enggan melakukan pembayaran bila isu lingkungan tersebut tidak diselesaikan.
“Pembayaran setelah isu lingkungan ini selesai. Nggak mungkin uang keluar kalau isu ini tidak selesai, jadi kan sulit kita mendapatkan pendanaan dari institusi internasional. Tidak ada pencairan dana, payment tidak jadi,” tandas Budi.
Menurut Budi, soal lingkungan ini dalam Sales Purchae Agreement sudah diperhitungkan. Apabila paska divestasi nanti PT Inalum menguasai saham mayoritas, persoalan itu tidak menjadi beban tanggung jawab dari PT Inalum melainkan tetap menjadi tanggung jawab PT Freeport Indonesia. Hal itu lantaran PT Inalum sebagai pembeli.
Sementara itu, Direktur Utam PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan angka sebesar 185 triliun rupiah itu bukanlah hasil temuan audit yang direkomendasikan kepada PT Freeport Indonesia. Menurutnya, pihak PT Freeport Indonesia akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Soal rekomendasi BPK, lanjut Tony, pihaknya sudah menyelesaikan enam poin. Sementara sisanya masih dalam proses.
Sedangkan dari KLHK, ada 48 poin, dimana dari 30 yang menjadi instruksi, 24 diantaranya sudah selesai, dan enam sisanya dalam proses penyelesaian.
Saat ini pun, lanjut Toni, pihaknya masih melakukan konsultasi dengan KLHK untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Perhitungan ini masih perlu didiskusikan lagi dengan KLHK, sampai saat ini kami masih konsultasi,” ujar Toni.
Freeport Tak Patuh Hukum?
Anggota IV BPK Rizal Djalil mengemukakan sudah 333 hari sejak temuan ini dipublikasikan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I/2016 dan PTFI bahkan tidak memberikan rencana aksi untuk menangani masalah ini.
Saat jumpa wartawan pada 19 Maret 2018 silam, Rizal mengungkapkan, dari 13 perusahaan pertambangan mineral yang beroperasi di Indonesia, hanya satu perusahaan, Freeport Indonesia, yang tidak mematuhi peraturan di republik ini.
Temuan BPK itu merinci, dari potensi kerugian negara Rp 185 triliun tersebut, sebesar Rp166 triliun diakibatkan kerusakan lingkungan laut, sedangkan Rp 8,2 triliun pada ekosistem estuari dan Rp 10,7 triliun di darat.
Bukan hanya itu, persoalan kerusakan suaka alam karena pembuangan limbah operasional pertambangan itu, Rizal menyatakan PT Freeport Indonesia juga melanggar peraturan perundangan karena menggunakan kawasan hutan tanpa memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan seluas minimal 4.535,93 ha.
"Saya sudah bertemu dengan Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, dan tidak ada perkembangan yang signifikan. Sudah 333 hari sejak temuan ini disampaikan dan tidak ada niat baik dari PTFI," ungkap Rizal.(Bw)
Juli 2018 lalu, PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia membuat Head of Agreement (HoA) soal divestasi saham sebesar 51%. Tak tanggung-tanggung, dana yang harus dikeluarkan untuk membayarnya sebesar 3,85 miliar dolar Amerika Serikat. Lewat PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) pemerintah akan menjadi pemegang 51% saham PT Freeport Indonesia.
PT Inalum tentunya tak kuat membayar sendiri dana sejumlah itu. Disebut-sebut ada 11 bank asing yang akan menggelontorkan dananya untuk membayar diverstasi saham tersebut.
Namun, ternyata masih ada ganjalan dalam pembayarannya itu. Dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP) yang digelar Komisi VII DPR RI pada Kamis (18/10), BPK menemukan adanya kerugian sebesar 185 triliun rupiah yang disebabkan aktivitas penambangan PT Freeport Indonesia.
“Ekosistem yang rusak kalau direhabilitasi, itu Rp 185 triliun. Lazimnya kalau akuisisi ada due diligence, apakah faktor lingkungan sudah dipertimbangkan, dan jadi beban siapa?” tanya Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa isu lingkungan tersebut dapat menjadi faktor penghambat divestasi. Ia mengatakan, bank-bank yang membentuk sindikasi untuk membayar divestasi tersebut enggan melakukan pembayaran bila isu lingkungan tersebut tidak diselesaikan.
“Pembayaran setelah isu lingkungan ini selesai. Nggak mungkin uang keluar kalau isu ini tidak selesai, jadi kan sulit kita mendapatkan pendanaan dari institusi internasional. Tidak ada pencairan dana, payment tidak jadi,” tandas Budi.
![]() |
Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikit. Foto:Ist. |
Sementara itu, Direktur Utam PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan angka sebesar 185 triliun rupiah itu bukanlah hasil temuan audit yang direkomendasikan kepada PT Freeport Indonesia. Menurutnya, pihak PT Freeport Indonesia akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Soal rekomendasi BPK, lanjut Tony, pihaknya sudah menyelesaikan enam poin. Sementara sisanya masih dalam proses.
Sedangkan dari KLHK, ada 48 poin, dimana dari 30 yang menjadi instruksi, 24 diantaranya sudah selesai, dan enam sisanya dalam proses penyelesaian.
Saat ini pun, lanjut Toni, pihaknya masih melakukan konsultasi dengan KLHK untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Perhitungan ini masih perlu didiskusikan lagi dengan KLHK, sampai saat ini kami masih konsultasi,” ujar Toni.
Freeport Tak Patuh Hukum?
![]() |
Anggota IV BPK Rizal Djalil, hanya Freeport yang belum taati rekomendasi BPK. Foto:Ist. |
Saat jumpa wartawan pada 19 Maret 2018 silam, Rizal mengungkapkan, dari 13 perusahaan pertambangan mineral yang beroperasi di Indonesia, hanya satu perusahaan, Freeport Indonesia, yang tidak mematuhi peraturan di republik ini.
Temuan BPK itu merinci, dari potensi kerugian negara Rp 185 triliun tersebut, sebesar Rp166 triliun diakibatkan kerusakan lingkungan laut, sedangkan Rp 8,2 triliun pada ekosistem estuari dan Rp 10,7 triliun di darat.
Bukan hanya itu, persoalan kerusakan suaka alam karena pembuangan limbah operasional pertambangan itu, Rizal menyatakan PT Freeport Indonesia juga melanggar peraturan perundangan karena menggunakan kawasan hutan tanpa memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan seluas minimal 4.535,93 ha.
"Saya sudah bertemu dengan Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, dan tidak ada perkembangan yang signifikan. Sudah 333 hari sejak temuan ini disampaikan dan tidak ada niat baik dari PTFI," ungkap Rizal.(Bw)
Tidak ada komentar