.

Perlu Ada Sanksi Apabila Kepala Daerah Mundur Tak Sesuai UU


Bupati Indramayu Anna Sophanah. Foto: Okezone

Pengunduran diri Bupati Indramayu karena alasan keluarga dirasa kurang patut. Ongkos politik saat pemilihan kepala daerah cukup besar, dan kepercayaan masyarakat seolah diabaikan. Perlu aturan tegas pengunduran diri kepala daerah.


Menduduki jabatan sebagai kepala daerah tentu begitu sulit dan berbiaya besar. Apalagi dengan sistem pemilihan langsung, di mana sang calon pemimpin itu harus memperkenalkan diri kepada masyarakat dan menyusun strategi agar apa yang diinginkannya tercapai. Sekali lagi, itu berbiaya yang tidak sedikit.

Bagi negara, perhelatan demokrasi lima tahunan di daerah itu juga membutuhkan biaya besar. Berapa anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah untuk menyiapkan tahapan pemilihan, sosialisasi pemilihan, menyiapkan panitia pemungutan suara, hingga anggaran distribusi logistik pemilihan yang tak kecil. 

Belum lagi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) daerah yang mengawasi setiap tahapan dari proses demokrasi itu. Tentunya mereka berbiaya besar, dan semua itu anggarannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan itu merupakan uang rakyat. 

Lantaran hal itulah, Pengamat Otonomi Daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan mengatakan agar Menteri Dalam Negeri tidak mudah untuk memberikan lampu hijau kepada kepala daerah yang mengundurkan diri dengan alasan yang tidak kuat. Ia malah menandaskan, agar Menteri Dalam Negeri menolak saja pengunduran diri tersebut. 

Djohermansyah mengatakan, ongkos politik untuk memilih kepala daerah itu tidaklah sedikit. Oleh karena itu pengunduran diri kepala daerah yang tidak sesuai dengan undang-undang haruslah ditolak.

Pengunduran diri kepala daerah yang diperkenankan oleh undang-undang adalah apabila ia berhalangan tetap, atau divonis bersalah oleh pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap. 

Seperti yang telah kita ketahui, Bupati Indramayu Anna Sophanah mengundurkan diri dengan alasan ingin merawat orang tuanya (ayahnya). Bupati yang diusung oleh Partai Golkar, Gerindra, Demokrat dan PKS ini terpilih untuk kedua kalinya sebagai Bupati Indramayu.  Ia menjabat bupati Indramayu periode pertamanya pada 2010-2015. Kemudian pada 2015 Anna terpilih kembali untuk periode keduanya yakni 2015-2018.

Pengunduran diri Bupati Indramayu ini telah direstui oleh partai pengusungnya.  Hal ini diungkapkan Politisi Partai Golkar Dave Akbarshah Fikarno. Ia mungungkapkan partai koalisi menerima pengunduran dirinya. Dave malah menyebutkan bahwa sebelum pengunduran diri Anna ini menghebohkan, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto disebut-sebut diajak berkonsultasi mengenai pengunduran diri Anna. Dave mengatakan Anna sebelumnya telah menemui Airlangga untuk mengutarakan maksud pengunduran dirinya itu. 

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 13 November lalu telah menerima langsung Anna Sophanah dan mendengar langsung alasan pengunduran dirinya. Pihaknya mengatakan, Kementerian Dalam Negeri masih menunggu surat dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Indramayu mengenai tanggapan atas pengunduran diri Bupati Indramayu itu. 

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memaklumi pengunduran diri Anna Sophanah. Ridwan Kamil menilai jika dipaksakan tetap menjabat, dirinya malah mengkhawatirkan pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang optimal. 

Ridwan Kamil mengatakan, orang yang orientasinya sudah bergeser harus dimaklumi. Apalagi posisinya sebagai kepala daerah. Ia mengatakan pihaknya tinggal menunggu surat dari Menteri Dalam Negeri apakah menyetujui atau tidak pengunduran diri Bupati Indramayu itu. 

Ridwan juga mengatakan, apabila sudah disetujui maka secara otomatis wakil bupatinya yang akan menggantikan posisi Anna. Kemudian partai pengusung akan menentukan pengganti wakil bupati.

Perlu Adanya Sanksi di Aturan Baru

Sementara itu Prof. Djohermansyah mengutarakan, harus ada regulasi yang mengatur pengunduran diri kepala daerah apabila pengunduran dirinya itu dengan alasan keluarga. Harus ada batasan waktu juga bagi kepala daerah agar tidak seenaknya minta mundur.

“Ke depan nanti apabila Undang-undangnya direvisi, disebutkan apabila ada kepala daerah terpilih dilarang untuk mundur dari jabatannya dalam jangka waktu tertentu,” kata Djohermansjah.

Prof. Djohermansjah berpandangan, apabila hal ini dibiarkan, nanti dikhawatirkan akan diikuti oleh yang lainnya. “Jadi politisi itu hidup mati. Itu politisi yang tidak siap untuk maju. Tidak matang. Jadi kalau gitu, mana yang lebih baik? Kalau saya sih negara keras saja," lanjut Prof. Djohermansjah. (AR)

Tidak ada komentar