Bupati Temanggung Mundur sebagai Saksi di Persidangan Kasus PLTU Riau-1
![]() |
Eni Maulani Saragih terdakwa kasus suap PLTU Riau-1. Foto:Ist |
Jakarta- Setelah sebelumnya disebut akan menjadi saksi dalam persidangan kasus korupsi Eni Maulani Saragih, Bupati Temanggung, Muhammad Al-Khadziq, yang juga merupakan suami Eni, memutuskan tidak bersedia memberi keterangan sebagai saksi dalam perkara suap PLTU Riau-1.
Bupati Temanggung itu mengatakan, dirinya tidak tega melihat istrinya di Persidangan. "Enggak tega," kata Alkhadziq di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (2/1).
Jawaban Al-Khadziq itu disampaikan ketika Ketua Majelis Hakim, Yanto, memberikan pertanyaan mengenai apakah bersedia atau tidak dimintai keterangan, apakah di bawah sumpah atau tidak di bawah sumpah.
Al-Khadziq memutuskan tidak meberikan keterangan karena terdakwa Eni merupakan istrinya. Nama orang nomor satu di Temanggung itu tadinya kemungkinan akan dimintai keterangan soal uang gratifikasi Eni yang digunakan untuk maju pilkada.
Sesuai Pasal 168 KUHAP, bahwa keterangan saksi tidak dapat didengar dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi jika dalam posisi keluarga, sedarah atau semenda.
"Karena terikat suami-istri, maka dia punya hak untuk mengundurkan diri, namun sebetulnya di 169 Ayat (1) dan Ayat (2) bisa kalau dia menghendaki," ujar Yanto.
Jaksa penuntut umum KPK mendakwa Eni Maulani Saragih menerima suap secara bertahap hingga mencapai Rp4.750.000.000 (Rp4,7 miliar) dari pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd, Johannes Budisutrisno Kotjo, terkait pengurusan PLTU Riau-1.
Selain agar Eni membantu menggolkan proyek PLTU Riau 1 masuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) dan proyek ini akan dikerjakan PT pembangkitan Jawa-Bali Investasi (PJBI) dengan Blackgold Natural Resources Limited, dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC).
Jaksa penuntut umum KPK mendakwa Eni Maulani Saragih melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Selain itu, jaksa penuntut umum KPK mendakwa Eni menerima gratifikasi uang sejumlah Rp5.600.000.000 (Rp5,6 miliar) dan SGD40.000 dari beberapa direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas (Migas).
Adapun para pemberi gratifikasi kepada Eni itu adalah Direktur PT Smelting, Pribadi Santoso Rp250 juta; Direktur PT One Connect Indonesia (OCI), Herwin Tanuwidjaja Rp100 juta dan SGD40.000; pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal, Samintan Rp5 miliar; dan Presiden Direktur (Presdir) PT Isargas, Iswan Ibrahim Rp250 juta.
Penerimaan uang sejumlah Rp5,6 miliar dan SGD40.000 tersebut berhubungan dengan jabatan terdakwa Eni Maulani Saragih selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dan berlawanan atau bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Terdakwa Eni Maulani Saragih menggunakan jabatannya sebagai anggota dewan melakukan penggalangan dana untuk kampanye suaminya, M Al Khadziq yang sedang mengikuti pemilihan calon bupati (Pilbub) Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng) berpasangan dengan Heri Wibowo. Pasangan ini diusung Partai Golkar.
Atas perbuatan tersebut, jaksa penuntut umum KPK mendakwa Eni Maulani Saragih melanggar Pasal 12 B Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.(AS/GT)
Al-Khadziq memutuskan tidak meberikan keterangan karena terdakwa Eni merupakan istrinya. Nama orang nomor satu di Temanggung itu tadinya kemungkinan akan dimintai keterangan soal uang gratifikasi Eni yang digunakan untuk maju pilkada.
Sesuai Pasal 168 KUHAP, bahwa keterangan saksi tidak dapat didengar dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi jika dalam posisi keluarga, sedarah atau semenda.
"Karena terikat suami-istri, maka dia punya hak untuk mengundurkan diri, namun sebetulnya di 169 Ayat (1) dan Ayat (2) bisa kalau dia menghendaki," ujar Yanto.
Jaksa penuntut umum KPK mendakwa Eni Maulani Saragih menerima suap secara bertahap hingga mencapai Rp4.750.000.000 (Rp4,7 miliar) dari pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd, Johannes Budisutrisno Kotjo, terkait pengurusan PLTU Riau-1.
Selain agar Eni membantu menggolkan proyek PLTU Riau 1 masuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) dan proyek ini akan dikerjakan PT pembangkitan Jawa-Bali Investasi (PJBI) dengan Blackgold Natural Resources Limited, dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC).
Jaksa penuntut umum KPK mendakwa Eni Maulani Saragih melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Selain itu, jaksa penuntut umum KPK mendakwa Eni menerima gratifikasi uang sejumlah Rp5.600.000.000 (Rp5,6 miliar) dan SGD40.000 dari beberapa direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas (Migas).
Adapun para pemberi gratifikasi kepada Eni itu adalah Direktur PT Smelting, Pribadi Santoso Rp250 juta; Direktur PT One Connect Indonesia (OCI), Herwin Tanuwidjaja Rp100 juta dan SGD40.000; pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal, Samintan Rp5 miliar; dan Presiden Direktur (Presdir) PT Isargas, Iswan Ibrahim Rp250 juta.
Penerimaan uang sejumlah Rp5,6 miliar dan SGD40.000 tersebut berhubungan dengan jabatan terdakwa Eni Maulani Saragih selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dan berlawanan atau bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Terdakwa Eni Maulani Saragih menggunakan jabatannya sebagai anggota dewan melakukan penggalangan dana untuk kampanye suaminya, M Al Khadziq yang sedang mengikuti pemilihan calon bupati (Pilbub) Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah (Jateng) berpasangan dengan Heri Wibowo. Pasangan ini diusung Partai Golkar.
Atas perbuatan tersebut, jaksa penuntut umum KPK mendakwa Eni Maulani Saragih melanggar Pasal 12 B Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.(AS/GT)
Tidak ada komentar