.

Memutus Mata Rantai Kekerasan Domestik dalam Perspektif Hukum Islam

oleh : Prof. Dr. Hj. Mufidah, Ch., M.Ag
Guru Besar bidang Ilmu Sosiologi Hukum Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Konsep keluarga sakinah yang masih sangat abstrak dan ideal, dalam realitas kehidupan umat Islam yang tidak selamanya berbanding lurus dengan idealisme lembaga keluarga. 

Sejumlah kasus yang menghambat dan menggangu keharmonisan keluarga senantiasa muncul, berkembang sejalan dengan perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih bangunan keluarga di era millennial yang memiliki karakteristik berbeda jika dibandingkan dengan bangunan keluarga di masa sebelumnya. Beban keluarga semakin berat sebagai konsekuensi dari kompleksitas masalah yang dihadapi.

Masalah keluarga erat kaitannya dengan status, peran, tanggung jawab, hak-hak laki-laki dan perempuan serta relasi gender di masyarakat. Diskursus gender dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari aspek sosiohistoris yang melatarinya. 

Budaya sebelum Islam memberikan pengaruh secara psikologis terhadap pemahaman nilai-nilai baru. Struktur keluarga dan kekerabatan dalam dunia Arab dipengaruhi oleh warisan budaya klasik pra Islam, sementara sejarah klasik bangsa ini dikacaukan oleh berbagai mitos dan legenda. 

Langgengnya budaya patriarkhi dan tradisi poligami adalah dua di antara sekian banyak warisan budaya yang berpengaruh luas dikawasan ini. Islam membawa prinsip keadilan sosial dalam tataran praktis fokus pada pembelaan terhadap mereka yang lemah (dhaif) atau dilemahkan (mustadh’af Ä«n), kelompok tertindas dan marjinal. 

Secara umum perempuan menjadi bagian dari kelompok tersebut, sehingga Rasulullah merespon kondisi perempuan yang tertinggal dari laki-laki dengan melakukan upaya-upaya khusus untuk pemberdayaan agar setara dan adil dalam kehidupan.

Prof. Dr. Hj. Mufidah Ch., M.Ag. 
Reformasi Hukum Keluarga Islam

Reformasi hukum keluarga Islam di berbagai negara Islam, dampaknya terasa dalam mengatur dan melakukan perubahan masyarakat menjadi lebih baik. Di antara upaya tersebut adalah setiap pernikahan, perceraian, poligami harus didaftarkan dan dicatat oleh pemerintah. 

Pernikahan anak-anak turut menyumbang rendahnya pendidikan perempuan, sehingga perempuan makin jauh tertinggal (termarjinalkan) dibanding laki-laki. Kasus poligami dan perceraian yang tidak terkontrol oleh pemerintah berdampak pada hilangnya hak-hak perempuan dan anak-anak mereka dalam bentuk kekerasan ekonomi baik dalam hal nafkah dan waris serta perlindungan dan keamanan bagi mereka. 

Hal ini memberikan pengaruh cukup signifikan dalam upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.

Indonesia tergolong negara yang lambat dalam merespon hukum keluarga Islam dibanding dengan negara lain, misalnya Pakistan telah lebih dahulu merumuskan hukum keluarga Islam sejak tahun 1961, sementara Indonesia baru ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. 

Perdebatan tentang pencatatan perkawinan dan poligami memakan waktu panjang dengan argumentasi bahwa perkawinan, perceraian dan poligami dianggap sebagai masalah keluarga dan privasi.

Untuk itu kehadiran negara dalam membuat regulasi tidak hanya dalam hal pencatatan nikah, talak, rujuk, waris dan hadlanah, tetapi juga memberikan perlindungan setiap anggota keluarga perspektif gender untuk menjamin hak-hak dasar mereka dan mengantarkan terwujudnya keluarga sakinah.

Memutus Mata Rantai Kekerasan Domestik

Kekerasan yang banyak terjadi adalah Kekerasan berbasis gender dimana kekerasan yang dilakukan oleh jenis kelamin berbeda yang disebabkan pandangan bias yang menempatkan salah satu jenis kelamin lebih superior dan yang lain dianggap inferior. 

Relasi gender yang timpang antara keduanya, menyebabkan diskriminasi gender dan menjadikan pihak yang merasa kuat berpotensi menindas pada yang lemah. Kekerasan tersebut didasarkan pada persepsi dominan bahwa perempuan dicitrakan sebagai mahluk lemah yang dianggap wajar mendapatkan perlakuan semena-mena.

Ketersediaan regulasi dalam kenyataannya belum menjamin hukum mampu bekerja dengan efektif. Alih-alih masalah kekerasan domestik, pandangan masyarakat masih terbelah yang disebabkan mindset mereka dalam merespon kesetaraan dan keadilan gender masih beragam. 

Pada umumnya, kekerasan berbasis gender lebih banyak dialami perempuan dari pada laki-laki. Kekerasan tersebut didasarkan pada persepsi dominan bahwa perempuan dicitrakan sebagai mahluk lemah yang dianggap wajar mendapatkan perlakuan semena-mena.

Payung hukum yang melindungi perempuan dan anak-anak di wilayah domestik menjadi instrumen utama dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan gender. Jika hendak membangun keluarga sakinah tidak bisa dilepaskan dari gender sebagai konstruksi sosial. 

Gender sebagai konstruksi sosial tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan penafsiran agama.Kesetaraan gender dalam keluarga di era millennial ini semakin diperlukan. Meningkatnya pendidikan, wawasan dan profesionalitas perempuan dalam setiap lini kehidupan baik publik maupun domestik menjadi realitas sosial yang tak terbantahkan. 

Bangunan keluarga berwawasan gender yang ditandai dengan saling asah, asih, dan asuh, saling menghormati, menghargai, saling membantu, melindungi dan memberdayakan menjadi harapan setiap keluarga. Namun konflik dan kekerasan domestik berbasis gender sering tidak bisa dihindari yang disebabkan karena budaya patriarkhi, pemahaman agama yang bias gender, implementasi kebijakan yang belum sepenuhnya responsif gender.

Pengembangan hukum keluarga berkesetaraan gender dengan mempertimbangkan nilai-nilai universal Islam dan budaya atau kearifan lokal dengan pemaknaan yang ramah gender akan mampu memecahkan kebekuan hukum keluarga Islam itu sendiri dalam kontribusinya menyelesaikan problem umat diseputar diskriminasi gender khususnya kekerasan domestik di masyarakat.

Tidak ada komentar